Rabu, 23 Oktober 2013
Sinopsis Novel "Sepatu Dahlan"
  • Title : Sinopsis Novel "Sepatu Dahlan"
  • Author :
  • Date : 05.21
  • Labels :

Sinopsis Novel "Sepatu Dahlan"


 “Sepatu Dahlan”
















Identitas Buku

1. Judul buku        : Sepatu Dahlan (trilogi)      
2. Pengarang         : Khrisna Pabichara
3. Penerbit            : PT. Mizan publika
4. Tahun terbit      : Juli 2012 (cetakan iv)
5. Tempat terbit    : Jakarta


D
i sebuah kampung di Magetan. Lahir seorang anak kampung yang mempunyai tekad yang luar biasa untuk meraih cita-citanya.
“Dahlan,” begitu akrab ia disapa, ia adalah seorang anak yang dilahirkan dari keluarga kurang mampu di Kampung Kebon Dalem, Magetan. Ia adalah anak ketiga dari empat saudara. Kedua kakaknya tinggal diluar kota untuk sekolah di perguruan tinggi dan bekerja dan adiknya, Zain belum mulai bersekolah. Ayahnya bekerja serabutan, dan ibunya adalah seorang ahli pembatik di kampungnya.
Dahlan hidup dalam suasana keluarga yang miskin, tak jarang ia dan keluarganya sering berpuasa hanya karena tak punya uang untuk membeli makanan, tiwul adalah makanan yang sangat istimewa baginya. Memang, dalam keadaan keluarga seperti itu, Dahlan sadar untuk tidak macam-macam dalam hal memilih makanan, sudah bisa makan sesuap nasi pun sudah sangat beruntung. Namun, hal itu tak membuatnya lekas putus asa, sosok keluarga terutama sosok ibunya yang selalu memberikan senyuman indah kepada Dahlan, membuat ia kuat untuk menjalani kehidupan dengan segala keterbatasannya, ia jalani kehidupan yang penuh liku ini dengan semangat dan keikhlasan.
Cita-cita kecil Dahlan kala itu ialah memiliki sepasang sepatu dan sepeda. Hal inilah yang kemudian membuat Dahlan kecil berpetualang dalam kehidupan yang penuh warna yang tidak dialami oleh anak-anak lain seusianya.
Dahlan yang kala itu masih duduk di bangku Sekolah Rakyat (sebutan untuk Sekolah Dasar untuk sekarang) sudah harus ikut banting tulang untuk membantu beban orang tuanya, ia kadang iri melihat teman-temannya yang bisa bermain dengan sangat puas tanpa harus memikirkan tanggung jawab “Mencari nafkah” seperti yang dilakukannya setiap hari. Bila ia bisa bermain pun, waktunya harus dibagi dengan pekerjaannya sebagai kuli nyeset dan kuli tandur. Untuk sampai ke sekolahnya pun ia harus melalui beberapa tantangan, jarak yang jauh dan teriknya matahari yang membuat permukaan tanah menjadi panas, terasa membakar kaki Dahlan yang tak terbungkus oleh sepatu, hal itulah yang membuat Dahlan mempunyai cita-cita untuk memiliki sepasang sepatu.
Setelah lulus dari Sekolah Rakyat, Dahlan lulus dengan nilai pas-pasan. Hal itu membuat Dahlan merasa takut dan merasa gagal untuk membahagiakan orang tuanya, terutama pada ayahnya yang terkenal tegas dalam mendidik anak-anaknya.
Impian Dahlan setelah lulus dari Sekolah Rakyat adalah melanjutkan sekolah ke SMP favorit di Magetan, yaitu SMP 1 Magetan, kualitas sekolah dan banyak temannya yang melanjutkan ke SMP 1 Magetan adalah alasan Dahlan untuk bersekolah di SMP 1 Magetan. Namun, ayahnya tidak menyetujui keinginan Dahlan tersebut, ayahnya lebih memilih MTs Takeran daripada SMP 1 Magetan. Dahlan pun mencoba untuk meyakinkan ayahnya agar dia di izinkan untuk bersekolah di SMP 1 Magetan, namun  ayahnya tetap tidak menyetujuinya. Memang ayah Dahlan adalah orang yang sangat teguh dengan pendiriannya, kalau ayah Dahlan bilang “A” ya harus “A”, tidak boleh “B”.
Keputusan ayah Dahlan tersebut memang bukan tanpa alasan, bukan karena nilai Dahlan yang terbilang pas-pasan. Ayah dahlan mempunyai maksud lain kenapa ia tidak menyetujui pilihan Dahlan untuk bersekolah di SMP 1 Magetan. Ayahnya tetap kekeh pada pilihannya yaitu “MTs Takeran”
Pernah disuatu hari, Dahlan mencoba membantu ibunya untuk membatik, namun tidak sengaja Dahlan menumpahkan lilin, sehingga merusak batik pesanan tetangganya tersebut. Sungguh Dahlan sangat sedih dan marah pada dirinya sendiri atas kejadian tersebut.
Beberapa hari berselang. Ketika Dahlan pulang dari sekolah, Dahlan mendapati ibunya muntah darah dan sedang tergeletak di lantai, Dahlan pun sangat panik melihat itu. Kemudian ibu Dahlan pun dibawa ke rumah sakit, berharap agar ibunya lekas sembuh. Selama ibunya dirawat di rumah sakit, Dahlan hanya tinggal berdua dengan adiknya “Zain” karena ayahnya harus menjaga ibunya di rumah sakit. Pernah suatu ketika Dahlan terpaksa harus mencuri tebu untuk mengganjal perunya dan adiknya yang tak kuat lagi menahan rasa lapar. Namun sial bagi Dahlan, perbuatannya ketahuan oleh sang mandor yang waktu itu sedang berjaga, Dahlan sangat panik dan takut, takut kalau perbuatannya itu akan diketahui oleh ayahnya. Karena perbuatannya, sang mandor pun memberi hukuman padanya.
Setelah kejadian tersebut, Dahlan tetap menjalani aktivitas sehari-harinya, yaitu sekolah dan bekerja. Diceritakan ketika Dahlan berjalan untuk berangkat ke sekolah ia bertemu dengan Maryati yang sedang menaiki sepeda cantiknya. Pada waktu itu Maryati menawarkan Dahlan untuk belajar sepeda, namun  Dahlan menolak tawaran Maryati tersebut karena Dahlan takut bila nanti ia akan terjatuh dan akhirnya merusak sepeda Maryati. Tetapi, Maryati terus memaksa Dahlan untuk mencobanya, pada akhirnya Dahlan pun mau menerima tawaran Maryati tersebut, karena memang sebenarnya Dahlan pun ingin merasakan sensasi naik sepeda yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. Ketika Dahlan menaiki sepeda Maryati, perasaan Dahlan sangat bahagia, ia baru merasakan sensasi naik sepeda yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. Namun, tiba-tiba Dahlan dan Maryati yang diboncengnya seketika jatuh ke selokan, kecelakaan tersebut membuat baju Dahlan basah kuyup, dan sepeda Maryati yang ia naiki penyok-penyok. Dahlan pun langsung meminta maaf pada Maryati atas kejadian tersebut. Untunglah Maryati orangnya baik, sehingga mau memaafkan Dahlan, dan Maryati pun memaklumi Dahlan bahkan ia sama sekali tidak menyalahkan Dahlan karena Maryati sendirilah yang memaksa Dahlan untuk meminjamkan sepedanya kepada Dahlan, padahal sebelumnya Dahlan sudah menolaknya.
Setelah kejadian tersebut Dahlan pun terpaksa pulang kembli untuk mengganti bajunya yang basah kuyup. Namun ditengah perjalanan, Dahlan bertemu dengan seorang wanita cantik, “Aisha” namanya. Wanita itu memberikan senyuman kecil pada Dahlan yang mungkin merasa heran melihat Dahlan yang sedang basah kuyup.
Singkat cerita. Setelah Dahlan pulang dari sekolah, ia melihat bendera kuning yang dipasang didepan rumahnya, sontak hala tersebut membuat jantung Dahlan berdegup kencang, ia takut terjadi apa-apa pada ibunya yang sedang sakit itu. Ternyata, apa yang ia takutkan ternyata benar terjadi. Sosok ibu yang sangat ia sayangi, sosok ibu yang selalu membuat ia tetap bersemangat untuk menjalani kejamnya kehidupan, meninggal dunia. Ia merasa sangat sedih dengan kejadian tersebut, ia merasa hatinya disayat-sayat oleh sebilah pedang. Ia tidak tau apakah ia masih mampu untuk menjali kehidupan ini tanpa seorang ibu. Perasaan itu pun seketika tumpah kedalam diary, memang ia adalah seorang anak yang selalu menumpahkan segala perasaannya kedalam suatu diary.
Setelah kejadian tersebut, kehidupan Dahlan kecil pun makin tersiksa, ayahnya pun yang dasarnya adalah sosok ayah yang  jarang bicara, makin menjadi pendiam. Ditambah dengan kejadian sepeda Maryati yang rusak akibat terjatuh ke selokan, ayah Maryati meminta ganti rugi pada Dahlan atas apa yang telah ia perbuat. Karena Dahlan tak punya cukup uang untuk menggantinya, Dahlan pun menggantinya dengan seekor domba yang ia miliki, ayah Maryati kemudian  memberikan sepeda rusak Maryati pada Dahlan.
Semenjak kelas II di MTs Takeran, Dahlan aktif di kegiatan organisasi dan kegiatan sekolah. Dahlan pun terpilih menjadi pengurus Ikatan Santri dan juga terpilih menjadi ketua tim bola voli MTs Takeran. Karena ada perlombaan bola voli se-kecamatan, Dahlan dan teman-temannya berlatih keras agar permainan tim-nya kompak satu sama lain. Singkat cerita, tim bola voli MTs Takeran berhasil menjadi juara tanpa perlawanan berarti dari para lawannya, tim bola voli MTs Takeran pun sekaligus mewakili kecamatannya untuk bertanding dalam skala kabupaten. Kemenangan tersebut membuat Dahlan semakin menggebu-gebu untuk mempunyai sepasang sepatu.
Setelah beberapa bulan, pertandingan demi pertandingan mereka lewati dengan kemenangan, dan pada akhirnya mereka sampai juga di babak final, tim lain yang masuk babak final adalah tim bola voli yang sangat di takuti di Magetan, tim itu adalah tim dari SMP1 Magetan. Namun, Dahlan dan teman-temannya selalu optimis dan tak sedikitpun merasa takut.
Menjelang Pertandingan melawan SMP 1 Magetan di babak final, ada sedikit kendala yang mereka alami. Panitia pertandingan bola voli, memberikan peraturan yang harus ditaati oleh semua tim, yaitu “Mempunyai seragam tim dan setiap pemain wajib memakai sepatu.” Memang awalnya mereka merasa berat dengan peraturan tersebut. Namun, mereka dibantu dengan pihak sekolah bersama-sama berusaha untuk membuat seragam tim. Sedangkan untuk sepatu, Dahlan harus bergantian dengan temannya agar bisa bermain.
Pertandingan itu pun tiba. Tim bola voli SMP Magetan, yang kebanyakan pemainnya berasal dari keluarga mampu, kompak memakai sepatu. Mereka juga memakai seragam tim dengan warna terang yang membuat mata para pemain tim bola voli MTs Takeran menjadi silau.
Setelah peluit tanda pertandingan dimulai, kedua tim saling jual beli serangan. Pertandingan tersebut berjalan dengan sengit. Tak ayal, penonton yang memadati lapang voli tersebut menjadi bersorak sorai demi mendukung tim kebanggan mereka.
Singkat kata, tim bola voli MTs Takeran akhirnya berhail menjadi juara. Para guru dan orang tua pun sangat bahagia dan bangga atas perjuangan tim bola voli MTs Takeran.
Atas keberhasilan Dahlan dalam memimpin tim bola voli MTs Takeran, tim bola voli Gorang-gareng melirik Dahlan untuk dijadikan pelatih. Karena pemain tim Gorang-gareng yang mayoritas adalah anak dari orang kaya, Dahlan pun dibayar dengan upah yang lumayan besar, upahnya jauh melebihi hasil dari pekerjaan saat itu, yaitu sebagai kuli nyeset dan kuli tandur.
Hari demi hari ia lewati, uang pun semakin terkumpul dari hasil melatih tim bola voli Gorang-gareng, kemudian pada akhirnya ia bisa mewujudkan impian besarnya, “Membeli sepasang sepatu.”
Hari demi ia lewati dengan penuh perjuangan, keringat yang sering menetes dari kulitnya, dan kakinya yang berwarna hitam sebagai bukti perjuangannya dalam mencari ilmu, semua kisah yang pernah ia lewati akan selalu digoreskan melalui tinta pada secarik kertas . Ia sangat mencintai keluarganya, ayahnya, ibunya, adiknya, dan kakak-kakanya.
Setelah lulus dari Madrasah Aliyah, ia tak menduga akan menjadi siswa dengan nilai tertinggi. Hal itu membuat ayahnya merasa bangga dengan pencapaian tersebut.
Namun, setelah lulus dari Madrasah Aliyah, Dahlan merasa bingung dengan tujuan dan cita-citanya. Antara, “Tetap tinggal di kampung dan tetap bekerja sebagai kuli nyeset/tandur dan menggembalakan domba atau merantau ke kota,” sedangkan teman-temannya sudah mempunyai rencana yang jelas.
Kalau misalkan ia memutuskan untuk pergi merantau ke luar kota, Zain adiknya tidak mengizinkan, begitupun Dahlan yang tidak tega untuk meninggalkan adiknya. Disamping itu, ayahnya tak menyetujuinya.
Namun suatu ketika, Aisha mengirim surat kepada Dahlan, isinya yaitu harapan Aisha kepada Dahlan untuk mengikuti jejaknya untuk berkuliah. Surat tersebut menggugah perasaan Dahlan, kemudian ia pun memutuskan untuk mengikuti jejak Aisha, yaitu “Kuliah.”
Tugasnya sekarang ialah meyakinkan ayahnya dan adiknya agar mengizinkan impiannya untuk berkuliah. Setelah beberapa kali membujuk ayahnya, akhirnya Dahlan pun diizinkan ayahnya untuk kuliah.
Selama menjadi mahasiswa, mimpi baru pun bermunculan pada diri Dahlan si anak kampung yang memiliki keterbatasan ekonomi, namun ia selalu berusaha, berusaha, dan berusaha dalam menjalani ganasnya kehidupan.

0 komentar:

Posting Komentar