“Sepatu Dahlan”
1. Judul buku : Sepatu Dahlan
(trilogi)
2. Pengarang : Khrisna Pabichara
3. Penerbit : PT. Mizan publika
4. Tahun terbit : Juli 2012 (cetakan iv)
5. Tempat
terbit : Jakarta
D
|
i sebuah kampung di Magetan. Lahir seorang anak kampung yang
mempunyai tekad yang luar biasa untuk meraih cita-citanya.
“Dahlan,” begitu akrab ia disapa, ia adalah seorang anak
yang dilahirkan dari keluarga kurang mampu di Kampung Kebon Dalem, Magetan. Ia
adalah anak ketiga dari empat saudara. Kedua kakaknya tinggal diluar kota untuk
sekolah di perguruan tinggi dan bekerja dan adiknya, Zain belum mulai
bersekolah. Ayahnya bekerja serabutan, dan ibunya adalah seorang ahli pembatik
di kampungnya.
Dahlan hidup dalam suasana keluarga yang miskin, tak jarang
ia dan keluarganya sering berpuasa hanya karena tak punya uang untuk membeli
makanan, tiwul adalah makanan yang
sangat istimewa baginya. Memang, dalam keadaan keluarga seperti itu, Dahlan
sadar untuk tidak macam-macam dalam hal memilih makanan, sudah bisa makan
sesuap nasi pun sudah sangat beruntung. Namun, hal itu tak membuatnya lekas
putus asa, sosok keluarga terutama sosok ibunya yang selalu memberikan senyuman
indah kepada Dahlan, membuat ia kuat untuk menjalani kehidupan dengan segala
keterbatasannya, ia jalani kehidupan yang penuh liku ini dengan semangat dan
keikhlasan.
Cita-cita kecil Dahlan kala itu ialah memiliki sepasang
sepatu dan sepeda. Hal inilah yang kemudian membuat Dahlan kecil berpetualang
dalam kehidupan yang penuh warna yang tidak dialami oleh anak-anak lain seusianya.
Dahlan yang kala itu masih duduk di bangku Sekolah Rakyat
(sebutan untuk Sekolah Dasar untuk sekarang) sudah harus ikut banting tulang
untuk membantu beban orang tuanya, ia kadang iri melihat teman-temannya yang
bisa bermain dengan sangat puas tanpa harus memikirkan tanggung jawab “Mencari
nafkah” seperti yang dilakukannya setiap hari. Bila ia bisa bermain pun,
waktunya harus dibagi dengan pekerjaannya sebagai kuli nyeset dan kuli tandur.
Untuk sampai ke sekolahnya pun ia harus melalui beberapa tantangan, jarak yang
jauh dan teriknya matahari yang membuat permukaan tanah menjadi panas, terasa
membakar kaki Dahlan yang tak terbungkus oleh sepatu, hal itulah yang membuat
Dahlan mempunyai cita-cita untuk memiliki sepasang sepatu.
Setelah lulus dari Sekolah Rakyat, Dahlan lulus dengan nilai
pas-pasan. Hal itu membuat Dahlan merasa takut dan merasa gagal untuk
membahagiakan orang tuanya, terutama pada ayahnya yang terkenal tegas dalam
mendidik anak-anaknya.
Impian Dahlan setelah lulus dari Sekolah Rakyat adalah
melanjutkan sekolah ke SMP favorit di Magetan, yaitu SMP 1 Magetan, kualitas
sekolah dan banyak temannya yang melanjutkan ke SMP 1 Magetan adalah alasan
Dahlan untuk bersekolah di SMP 1 Magetan. Namun, ayahnya tidak menyetujui
keinginan Dahlan tersebut, ayahnya lebih memilih MTs Takeran daripada SMP 1
Magetan. Dahlan pun mencoba untuk meyakinkan ayahnya agar dia di izinkan untuk
bersekolah di SMP 1 Magetan, namun
ayahnya tetap tidak menyetujuinya. Memang ayah Dahlan adalah orang yang
sangat teguh dengan pendiriannya, kalau ayah Dahlan bilang “A” ya harus “A”,
tidak boleh “B”.
Keputusan ayah Dahlan tersebut memang bukan tanpa alasan,
bukan karena nilai Dahlan yang terbilang pas-pasan. Ayah dahlan mempunyai
maksud lain kenapa ia tidak menyetujui pilihan Dahlan untuk bersekolah di SMP 1
Magetan. Ayahnya tetap kekeh pada pilihannya yaitu “MTs Takeran”
Pernah disuatu hari, Dahlan mencoba membantu ibunya untuk
membatik, namun tidak sengaja Dahlan menumpahkan lilin, sehingga merusak batik
pesanan tetangganya tersebut. Sungguh Dahlan sangat sedih dan marah pada
dirinya sendiri atas kejadian tersebut.
Beberapa hari berselang. Ketika Dahlan pulang dari sekolah,
Dahlan mendapati ibunya muntah darah dan sedang tergeletak di lantai, Dahlan
pun sangat panik melihat itu. Kemudian ibu Dahlan pun dibawa ke rumah sakit,
berharap agar ibunya lekas sembuh. Selama ibunya dirawat di rumah sakit, Dahlan
hanya tinggal berdua dengan adiknya “Zain” karena ayahnya harus menjaga ibunya
di rumah sakit. Pernah suatu ketika Dahlan terpaksa harus mencuri tebu untuk
mengganjal perunya dan adiknya yang tak kuat lagi menahan rasa lapar. Namun
sial bagi Dahlan, perbuatannya ketahuan oleh sang mandor yang waktu itu sedang
berjaga, Dahlan sangat panik dan takut, takut kalau perbuatannya itu akan
diketahui oleh ayahnya. Karena perbuatannya, sang mandor pun memberi hukuman
padanya.
Setelah kejadian tersebut, Dahlan tetap menjalani aktivitas
sehari-harinya, yaitu sekolah dan bekerja. Diceritakan ketika Dahlan berjalan
untuk berangkat ke sekolah ia bertemu dengan Maryati yang sedang menaiki sepeda
cantiknya. Pada waktu itu Maryati menawarkan Dahlan untuk belajar sepeda,
namun Dahlan menolak tawaran Maryati
tersebut karena Dahlan takut bila nanti ia akan terjatuh dan akhirnya merusak sepeda
Maryati. Tetapi, Maryati terus memaksa Dahlan untuk mencobanya, pada akhirnya
Dahlan pun mau menerima tawaran Maryati tersebut, karena memang sebenarnya
Dahlan pun ingin merasakan sensasi naik sepeda yang sebelumnya tak pernah ia
rasakan. Ketika Dahlan menaiki sepeda Maryati, perasaan Dahlan sangat bahagia,
ia baru merasakan sensasi naik sepeda yang sebelumnya tak pernah ia rasakan.
Namun, tiba-tiba Dahlan dan Maryati yang diboncengnya seketika jatuh ke selokan,
kecelakaan tersebut membuat baju Dahlan basah kuyup, dan sepeda Maryati yang ia
naiki penyok-penyok. Dahlan pun langsung meminta maaf pada Maryati atas
kejadian tersebut. Untunglah Maryati orangnya baik, sehingga mau memaafkan
Dahlan, dan Maryati pun memaklumi Dahlan bahkan ia sama sekali tidak
menyalahkan Dahlan karena Maryati sendirilah yang memaksa Dahlan untuk
meminjamkan sepedanya kepada Dahlan, padahal sebelumnya Dahlan sudah
menolaknya.
Setelah kejadian tersebut Dahlan pun terpaksa pulang kembli
untuk mengganti bajunya yang basah kuyup. Namun ditengah perjalanan, Dahlan
bertemu dengan seorang wanita cantik, “Aisha” namanya. Wanita itu memberikan
senyuman kecil pada Dahlan yang mungkin merasa heran melihat Dahlan yang sedang
basah kuyup.
Singkat cerita. Setelah Dahlan pulang dari sekolah, ia
melihat bendera kuning yang dipasang didepan rumahnya, sontak hala tersebut
membuat jantung Dahlan berdegup kencang, ia takut terjadi apa-apa pada ibunya
yang sedang sakit itu. Ternyata, apa yang ia takutkan ternyata benar terjadi.
Sosok ibu yang sangat ia sayangi, sosok ibu yang selalu membuat ia tetap
bersemangat untuk menjalani kejamnya kehidupan, meninggal dunia. Ia merasa
sangat sedih dengan kejadian tersebut, ia merasa hatinya disayat-sayat oleh
sebilah pedang. Ia tidak tau apakah ia masih mampu untuk menjali kehidupan ini
tanpa seorang ibu. Perasaan itu pun seketika tumpah kedalam diary, memang ia adalah seorang anak
yang selalu menumpahkan segala perasaannya kedalam suatu diary.
Setelah kejadian tersebut, kehidupan Dahlan kecil pun makin
tersiksa, ayahnya pun yang dasarnya adalah sosok ayah yang jarang bicara, makin menjadi pendiam.
Ditambah dengan kejadian sepeda Maryati yang rusak akibat terjatuh ke selokan,
ayah Maryati meminta ganti rugi pada Dahlan atas apa yang telah ia perbuat.
Karena Dahlan tak punya cukup uang untuk menggantinya, Dahlan pun menggantinya
dengan seekor domba yang ia miliki, ayah Maryati kemudian memberikan sepeda rusak Maryati pada Dahlan.
Semenjak kelas II di MTs Takeran, Dahlan aktif di kegiatan
organisasi dan kegiatan sekolah. Dahlan pun terpilih menjadi pengurus Ikatan
Santri dan juga terpilih menjadi ketua tim bola voli MTs Takeran. Karena ada
perlombaan bola voli se-kecamatan, Dahlan dan teman-temannya berlatih keras
agar permainan tim-nya kompak satu sama lain. Singkat cerita, tim bola voli MTs
Takeran berhasil menjadi juara tanpa perlawanan berarti dari para lawannya, tim
bola voli MTs Takeran pun sekaligus mewakili kecamatannya untuk bertanding
dalam skala kabupaten. Kemenangan tersebut membuat Dahlan semakin menggebu-gebu
untuk mempunyai sepasang sepatu.
Setelah beberapa bulan, pertandingan demi pertandingan
mereka lewati dengan kemenangan, dan pada akhirnya mereka sampai juga di babak
final, tim lain yang masuk babak final adalah tim bola voli yang sangat di
takuti di Magetan, tim itu adalah tim dari SMP1 Magetan. Namun, Dahlan dan
teman-temannya selalu optimis dan tak sedikitpun merasa takut.
Menjelang Pertandingan melawan SMP 1 Magetan di babak final,
ada sedikit kendala yang mereka alami. Panitia pertandingan bola voli,
memberikan peraturan yang harus ditaati oleh semua tim, yaitu “Mempunyai
seragam tim dan setiap pemain wajib memakai sepatu.” Memang awalnya mereka
merasa berat dengan peraturan tersebut. Namun, mereka dibantu dengan pihak
sekolah bersama-sama berusaha untuk membuat seragam tim. Sedangkan untuk
sepatu, Dahlan harus bergantian dengan temannya agar bisa bermain.
Pertandingan itu pun tiba. Tim bola voli SMP Magetan, yang
kebanyakan pemainnya berasal dari keluarga mampu, kompak memakai sepatu. Mereka
juga memakai seragam tim dengan warna terang yang membuat mata para pemain tim
bola voli MTs Takeran menjadi silau.
Setelah peluit tanda pertandingan dimulai, kedua tim saling
jual beli serangan. Pertandingan tersebut berjalan dengan sengit. Tak ayal,
penonton yang memadati lapang voli tersebut menjadi bersorak sorai demi
mendukung tim kebanggan mereka.
Singkat kata, tim bola voli MTs Takeran akhirnya berhail
menjadi juara. Para guru dan orang tua pun sangat bahagia dan bangga atas
perjuangan tim bola voli MTs Takeran.
Atas keberhasilan Dahlan dalam memimpin tim bola voli MTs
Takeran, tim bola voli Gorang-gareng melirik Dahlan untuk dijadikan pelatih.
Karena pemain tim Gorang-gareng yang mayoritas adalah anak dari orang kaya,
Dahlan pun dibayar dengan upah yang lumayan besar, upahnya jauh melebihi hasil
dari pekerjaan saat itu, yaitu sebagai kuli nyeset dan kuli tandur.
Hari demi hari ia lewati, uang pun semakin terkumpul dari
hasil melatih tim bola voli Gorang-gareng, kemudian pada akhirnya ia bisa
mewujudkan impian besarnya, “Membeli sepasang sepatu.”
Hari demi ia lewati dengan penuh perjuangan, keringat yang
sering menetes dari kulitnya, dan kakinya yang berwarna hitam sebagai bukti
perjuangannya dalam mencari ilmu, semua kisah yang pernah ia lewati akan selalu
digoreskan melalui tinta pada secarik kertas . Ia sangat mencintai keluarganya,
ayahnya, ibunya, adiknya, dan kakak-kakanya.
Setelah lulus dari Madrasah Aliyah, ia tak menduga akan
menjadi siswa dengan nilai tertinggi. Hal itu membuat ayahnya merasa bangga
dengan pencapaian tersebut.
Namun, setelah lulus dari Madrasah Aliyah, Dahlan merasa
bingung dengan tujuan dan cita-citanya. Antara, “Tetap tinggal di kampung dan
tetap bekerja sebagai kuli nyeset/tandur dan menggembalakan domba atau merantau
ke kota,” sedangkan teman-temannya sudah mempunyai rencana yang jelas.
Kalau misalkan ia memutuskan untuk pergi merantau ke luar
kota, Zain adiknya tidak mengizinkan, begitupun Dahlan yang tidak tega untuk
meninggalkan adiknya. Disamping itu, ayahnya tak menyetujuinya.
Namun suatu ketika, Aisha mengirim surat kepada Dahlan,
isinya yaitu harapan Aisha kepada Dahlan untuk mengikuti jejaknya untuk
berkuliah. Surat tersebut menggugah perasaan Dahlan, kemudian ia pun memutuskan
untuk mengikuti jejak Aisha, yaitu “Kuliah.”
Tugasnya sekarang ialah meyakinkan ayahnya dan adiknya agar
mengizinkan impiannya untuk berkuliah. Setelah beberapa kali membujuk ayahnya,
akhirnya Dahlan pun diizinkan ayahnya untuk kuliah.
Selama menjadi mahasiswa, mimpi baru pun bermunculan pada
diri Dahlan si anak kampung yang memiliki keterbatasan ekonomi, namun ia selalu
berusaha, berusaha, dan berusaha dalam menjalani ganasnya kehidupan.
0 komentar:
Posting Komentar